Senin, 26 Maret 2012

Jelajah Tjilatjap I

Jam 9.30 ekspedisi dimulai. Aku dan Hilmy berangkat berboncengan dari Banyumas, tiba di Stasiun Cilacap yang menjadi meeting point pesera jelajah sejam sebelumnya, sudah ada Mas Riyad dan teman-teman dari Spoor5 Cilacap ketika kami datang. Ekspedisi dimulai dengan ngumpul bareng di bangku "smoking area" di dalam peron stasiun. Kali ini peserta ekspedisi ada sekitar 30an orang, mereka berasal dari BHHC (Banjoemas History Heritage Community), Komunitas pecinta kereta dari wilayah Daop V yakni Spoor5 (Baca:Spurlimo) dan Komunitas Lensa Manual Purwokerto.



Setelah perkenalan karena diantara peserta banyak yang baru saling bertemu kali itu, diskusi pembuka membahas tentang asal usul Kota Cilacap. Mas Miko sang pendiri Banjoemas.com dengan lihai menceritakan capture demi capture perjalanan lahirnya kota Cilacap.


Cilacap adalah kota yang menyimpan banyak cerita sejarah. Aku termasuk orang yang tercengang ketika diceritai, bahwa dulunya cilacap hanyalah rawa-rawa yang tidak terjamah, tetapi karena
perhitungan para ahli pertanahan Belanda, akhirnya rawa-rawa itu dibuka dan akhirnya dijadikan dermaga di pesisir selatan Pulau Jawa. Dan sampai sekarang, Cilacap masih menjadi satu-satunya pelabuhan di pesisir selatan Pulau Jawa.
Pada awal pembukaan kota ini, penyakit malaria adalah menjadi ancaman maut bagi pekerja dan penghuninya. Sempat di suatu kurun waktu mas Miko menceritakan, Cilacap ditutup, semua orang tidak boleh bermukim disini, hingga akhirnya suatu ketika berhasil didatangkan ahli malaria, sehingga Cilacap dinyatakan aman untuk bermukim.


Setelah cukup panjang lebar diskusi tentang Cilacap, saatnya ekspedisi start untuk bergerak. Dari tempat duduk, kita memulai pergerakan ke arah keberangkatan KA. Stasiun Cilacap saat ini masih aktif digunakan oleh kereta penumpang dan kereta Ketel pengangkut BBM. Beruntung hari itu kita bisa menjumpai kedua kereta itu, kereta penumpangnya yakni KA Purwojaya, Relasi Cilacap-Jakarta yang memilki gerbong eksekutif dan bisnis. Sedangkan kereta ketelnya adalah pengangkut Avtur yang setiap hari, kecuali minggu, mengirimkan Avtur ke Rewulu, Yogyakarta.


Ke arah utara, kita menyusuri rel di sekitar stasiun sampai ke palang pintu disebelah pasar Cilacap. Yang dari Spoor5 mengamati kode-kode perjalananan KA, yang masih baik atau yang sudah rusak. Yang dari BHHC mengamati peninggalan-peninggalan bersejarah yang masih bersejarah sembari menakjubi umur rel dan bantalannya. Yang dari Lensa Manual menjeprat-jepret spot yang memukau untuk dijepret. Yang jomblo mengamat-ngamati cewe-cewe yang melintas menujut ke pasar, heum, tidak seramai di Jalan Kampus Unsoed yah. Aihihi...

Sampai di palang pintu, kita berbalik arah ke selatan, obyek yang kita injak-injak selanjutnya adalah dipo lokomotif stasiun Cilacap. Ini kali kedua aku bertandang kesini. Disaat stasiun-stasiun lain menerapkan peraturan baru yang begitu ketat sehingga orang tidak bisa masuk ke stasiun, di Cilacap berbeda, jangankan cuma masuk stasiun, bahkan anak-anak bermain-main di atas lokomotif yang sedang dimaju-mundurkan di dipo juga dibiarkan saja.


Di dipo kita bertemu beberapa anak-anak yang sedang bermain-main. Yah, beruntung mereka bisa bermain-main di stasiun, kalau mau belajar pasti banyak pembelajaran langsung yang bisa dipetik. Uniknya diantara mereka, ternyata bukan anak-anak yang sedang bermain doank, tapi mereka sedang menunggu kereta yang berangkat ke arah Kroya, mereka mau mengamen dan kemudian sore hari balik lagi. Yah, sedinamis itu kehidupan mereka.

Setelah puas mengamat-amatidan menjeprat-jepreti sambil ngerumpi, kita bergerak menyusuri rel menuju ke Pelabuhan Tanjung Intan. Lumayan jauh, di peta terukur lebih kurang 3 km. Sempat terjadi diskusi, ini mau jalan kaki apa naik motor? kalau jalan kaki, lumayan, panas, karena jam sudah menunjukkan jam 11an. Kalau naik motor, terpaksa tidak bisa full menyusuri rell karena ada beberapa titik jalur yang tidak berdampingan dengan jalan setapak sekalipun, akhirnya suara terbanyak memutuskan jalan kaki.

Akhirnya jalan kaki kita semua, tidak satupun. Rel dari stasiun ke Pelabuhan kalau di peta terlihat melengkung jalurnya, dan memang begitu terlihat di kenyataannya. Diantara bantalan rel sudah ditumbuhi rerumputan yang beberapa lumayan tinggi, tanpa informasi dari petugas stasiun, yang terpikir olehku adalah ini rel mati, sudah tidak dipakai. Tetapi tidak ternyata, rel ini masih aktif dipakai, setiap hari kecuali hari minggu (dan saat ekspedisi adalah hari minggu) sebuah kereta pengangkut BBM mengambil BBM di dalam pangkalan Pertamina yang ada di ujung rel, di kompleks pelabuhan Tanjung Intan yang kemudian di bawa ke pangkalan BBM Rewulu, beberapa stasiun sebelum stasiun Tugu, Yogyakarta.

Ekspedisi melewati beberapa bangunan tua, lalu melewati pemukiman warga miskin yang kumuh dibeberapa titik, lalu membentang sawah di kiri kanan, sampai akhirnya tiba di rel yang membelah sebuah area pabrik tepung. Disini kita harus stop terlebih dahulu. kenapa stop? pertama, karena diultimatum satpam dan kedua, karena kita kelelahan, nyaris dehidrasi akibat menyengatnya panas sang surya di tengah harinya kota Cilacap. Setelah mas Miko dan mas Riyad mengklarifikasi ijin melintas yang sudah dikirimkannya kemarin, akhirnya kita diijinkan melintas dengan catatan dilarang jeprat-jepret sampai keluar area pabrik. Kamipun melintas, ada percabangan rel di dalam pabrik tepung itu, satu percabangan rel yang kekanan masih dipakai untuk kereta pengangkut avtur tadi, sedangkan percabangan kekiri sudah mati, dulunya rel ini digunakan untuk pengangkutan barang dari pabrik pupuk.

Karena aku, Hilmy dan Mas Mahbub terlalu cepat berjalan, akhirnya kita terpisah dari rombongan. Aneh yah, rel kan cuma satu jalur, lurus pula, tapi bisa juga kita terpisah. Kita tidak bisa melihat lagi sudah sampai mana rombongan yang lain, kita mengira mereka masuk ke pelabuhan lewat sebuah pintu tertentu, oleh karena itu kita mencari-cari jalan tembus untuk ke pelabuhan...ciat... ketemulah, dan kita masuk ke dermaga, tampak sebuah kapal barang bertuliskan ISA DELTA, juga ada BASUNDARA 2 sedang bersandar di Tanjung Intan. Mas Mahbub sempat berdialog dengan pria-pria berpenampilan preman di pelabuhan, kitapun sempat sedikit menjelajah ria sampai setelah lemes kepanasan kita kembali ke rel, menunggu rombongan yang lain.


Wehe, ternyata rombongan sudah tidak komplit, mas Irwan Asiatic, Sukma dan Aris kawan baikku semasa SMA sudah nyerah, naik mobil, kembali ke starting point di stasiun Cilacap. sedangkan rombongan yang masih tersisa, terus melanjutkan perjalanan yang tinggal beberap meter, perjalanan kita diakhiri di sebuah bangunan tua disamping pangkalan BBM pertamina yang menjadi ujung rel Pelabuhan-Stasiun itu.

Setelah ngumpul, melakukan diskusi penutup, tawaran menarik menguak dari salah satu peserta ekspedisi yang merupakan peserta ekspedisi termuda, masih kelas  1 SMP. Dia menawari seluruh peserta untuk makan siang dirumahnya, di Gunung Simping, perumahan mewah Pertamina punya. Seperti gayung bersambut, semua sumringah karena hadirnya tawaran itu.



Eits, tapi makan siang belum bisa terwujud saat itu juga, masih ada empat destinasi yang belum dijamah yang menjadi bagian dari ekspedisi Jelajah Tjilajcap I hari ini. Yakni sebuah benteng di Teluk Penyu, yakni Benteng Pendem dan tiga benteng di Nusa Kambangan. Namun, karena pertimbangan waktu, hanya satu benteng yang dijamah, yakni Benteng Pendem.

Benteng pendem berolakasi agak jauh dari pelabuhan Tanjung Intan dan Stasiun. Kalau pelabuhan bisa didatangi dari depan alun-alun Cilacap terus saja lurus ambil jalan ke arah barat sampai jalan mentok, sedangkan stasiun bisa dituju dibelakang Pasar  Sumpiuh. Benteng pendem bisa dituju dengan masuk lokawisata Pantai Teluk Penyu. Dimana letaknya?Cari saja di papan penunjuk jalan, atau kalau susah, tanya orang saja.


Dengan tiket masuk 5.000 dan parkir 2.000 rupiah kita bisa masuk ke Benteng Pendem, harga itu belum termasuk tip untuk guide. Di dalam benteng, masih tersisa bangunan benteng peninggalan Belanda dengan papan penunjuk fungsi-fungsi tiap bangunan, ada tertulis gudang senjata, bangunan asrama dan lain-lain. Wahana mainan anak bertebaran disini, sampai tidak mbentuk lagi bagaimana kondisi awal benteng ini sebetulnya. Menurut guide yang sedang bercerita ke rombongan sebelah, katanya masih ada beberapa bangunan benteng yang tertutup tanah. Entah kenapa tetap dibiarkan ditutupi tanah sehingga pengunjung tahunya itu bukit biasa saja.

Yang kurang nyaman kalau ke obyek wisata berretribusi murah adalah persoalan sampah, begitu juga disini. Tapi ya, mau tidak mau sudah maklumlah dengan kondisi seperti ini. Karena memang kita kan bukan bangsa perfectcionis, kita adalah bangsa yang penuh kasih sayang, termasuk berkasih sayang ke pelaku membuang sampah sembarangan.

Yang kurang nyaman berikutnya bagiku adalah, apa sih edukasi yang didapat oleh anak-anak kalau berkunjung kesini. Aku tidak menemukannya? Apa iya, kita mengajak datang adik dan anak-anak kita ke sebuah benteng untuk mengagumi penjajah? Haha, kalau ada Caknun mungkin akan jawab iya. Iya, karena kalau penjajah saja begitu hebat, apalagi kita yang sudah mengalahkan mereka. Lepas dari benar tidaknya jawaban itu, aku merindukan adanya obyek wisata yang kalau anak-anak datang kesitu muncul heroisme, terbangun kepercayaan diri sebagai bangsa, terjalin kedekatan dengan profil, sifat dan semangat pahlawan pendahulu bangsa, ya gitu deh.

Hingga akhirnya kunjungan selesai, karena makan siang sudah tidak bisa mentolerir keterlambatan kedatangan kita, akhirnya kita tidak sempatkan mampir ke pantai yang ada di seberang jalan Benteng. Dengan konvoi sepeda motor dan sebagian ada yang naik mobil, kita meluncur ke Perumahan Gunung Simping, dari Teluk Penyu ambil ke arah luar kota (ke arah Purwokerto), nanti di pertigaan yang ke arah Kawasan Industri Pertamina Donan belok kiri, kalo setelah belok kamu menginjak rel, lalu di kanan jalan ada Hotel Patra Graha, berarti kamu membelok di jalan yang benar. Sampai di kanan jalan ada RSI Fatimah, nah diseberang RSI itulah pintu masuk ke perumahan.

Kelapa muda bersambung dengan Lele goreng dan sayur lodah... heum, nyammmy..... apalagi boleh nambah sepuasnya. Karena dari 30 porsi yang tersedia paling hanya 15 orang yang ditakdirkan Tuhan untuk mampir. Makan siang selesai sekitar pukul setengah 5 sore (makan siang???) dan Ekspedisipun resmi selesai, aku kembali berboncengan dengan Hilmy, menuju Kalibagor, Banyumas dengan transit sekali di Mushola SPBU Kalisabuk untuk sholat Ashar.



Walaupun kepanasan di tengah hari tadi, tapi sepertinya pada tidak kapok kok. Ekspedisi ini baru part I, masih ada Jelajah Tjilajap II dan III. Menurut mas Miko sang konseptor penjelajahan, ekspedisi Jelajah Tjilatjap II akan menyusuri rel mati yang merupakan rel alternatif dengan jarak lebih pendek, dari Pelabuhan Tanjung Intan, ke arah beberapa ratus meter sebelah utara stasiun Cilacap. Kemudian selesai susur rel dilanjutkan susur 3 benteng, menyeberang ke Pulau Nusakambangan.

Sedangkan Jelajah Tjilatjap III kita akan bermain-main air, ekspedisi naik perahu di Kali Yasa, sebuah kali buatan Belanda yang sekarang terlihat begitu alami, dulunya kali ini dibangun demi tujuan komersial, sebagai lalu lintas komoditas perdagangan Belanda saat itu.

Begitulah, dari Penjelajahan ini aku mendapatkan kesimpulan baru bahwasannya Pemerintah Hindia-Belanda lebih serius menyiapkan sebuah tata kota, sistem tata niaga yang lebih manusiawi tidak mengabaikan lingkungan hidup dan keberlangsungan komunitas pemukiman disekitarnya dan memiliki pandangan jangka-panjang. Bahkan pemerintah NKRI sekarang kalah, kalah jauh.. jauh abis.. . Heum, apakah kita harus mengucapkan terima kasih penjajahku, sembari menyuruh pemerintah kita study banding kepada mereka?

1 komentar: