Jam 9.30 ekspedisi dimulai. Aku dan Hilmy berangkat berboncengan dari Banyumas, tiba di Stasiun Cilacap 
yang menjadi meeting point pesera jelajah sejam sebelumnya, sudah ada 
Mas Riyad dan teman-teman dari Spoor5 Cilacap ketika kami datang. 
Ekspedisi dimulai dengan ngumpul bareng di bangku "smoking area" di 
dalam peron stasiun. Kali ini peserta ekspedisi ada sekitar 30an orang, 
mereka berasal dari BHHC (Banjoemas History Heritage Community), 
Komunitas pecinta kereta dari wilayah Daop V yakni Spoor5 (Baca:Spurlimo)
 dan Komunitas Lensa Manual Purwokerto.
Setelah perkenalan karena diantara peserta banyak yang baru saling 
bertemu kali itu, diskusi pembuka membahas tentang asal usul Kota 
Cilacap. Mas Miko sang pendiri Banjoemas.com dengan lihai menceritakan 
capture demi capture perjalanan lahirnya kota Cilacap.
Cilacap adalah kota yang menyimpan banyak cerita sejarah. Aku termasuk 
orang yang tercengang ketika diceritai, bahwa dulunya cilacap hanyalah 
rawa-rawa yang tidak terjamah, tetapi karena 
perhitungan para ahli 
pertanahan Belanda, akhirnya rawa-rawa itu dibuka dan akhirnya dijadikan
 dermaga di pesisir selatan Pulau Jawa. Dan sampai sekarang, Cilacap 
masih menjadi satu-satunya pelabuhan di pesisir selatan Pulau Jawa.
Pada awal pembukaan kota ini, penyakit malaria adalah menjadi ancaman 
maut bagi pekerja dan penghuninya. Sempat di suatu kurun waktu mas Miko 
menceritakan, Cilacap ditutup, semua orang tidak boleh bermukim disini, 
hingga akhirnya suatu ketika berhasil didatangkan ahli malaria, sehingga
 Cilacap dinyatakan aman untuk bermukim.
Setelah cukup panjang lebar diskusi tentang Cilacap, saatnya ekspedisi 
start untuk bergerak. Dari tempat duduk, kita memulai pergerakan ke arah
 keberangkatan KA. Stasiun Cilacap saat ini masih aktif digunakan oleh 
kereta penumpang dan kereta Ketel pengangkut BBM. Beruntung hari itu 
kita bisa menjumpai kedua kereta itu, kereta penumpangnya yakni KA 
Purwojaya, Relasi Cilacap-Jakarta yang memilki gerbong eksekutif dan 
bisnis. Sedangkan kereta ketelnya adalah pengangkut Avtur yang setiap 
hari, kecuali minggu, mengirimkan Avtur ke Rewulu, Yogyakarta.
Ke arah utara, kita menyusuri rel di sekitar stasiun sampai ke palang 
pintu disebelah pasar Cilacap. Yang dari Spoor5 mengamati kode-kode 
perjalananan KA, yang masih baik atau yang sudah rusak. Yang dari BHHC 
mengamati peninggalan-peninggalan bersejarah yang masih bersejarah 
sembari menakjubi umur rel dan bantalannya. Yang dari Lensa Manual 
menjeprat-jepret spot yang memukau untuk dijepret. Yang jomblo 
mengamat-ngamati cewe-cewe yang melintas menujut ke pasar, heum, tidak 
seramai di Jalan Kampus Unsoed yah. Aihihi...
Sampai di palang pintu, kita berbalik arah ke selatan, obyek yang kita 
injak-injak selanjutnya adalah dipo lokomotif stasiun Cilacap. Ini kali 
kedua aku bertandang kesini. Disaat stasiun-stasiun lain menerapkan 
peraturan baru yang begitu ketat sehingga orang tidak bisa masuk ke 
stasiun, di Cilacap berbeda, jangankan cuma masuk stasiun, bahkan 
anak-anak bermain-main di atas lokomotif yang sedang dimaju-mundurkan di
 dipo juga dibiarkan saja.
Di dipo kita bertemu beberapa anak-anak yang sedang bermain-main. Yah, 
beruntung mereka bisa bermain-main di stasiun, kalau mau belajar pasti 
banyak pembelajaran langsung yang bisa dipetik. Uniknya diantara mereka,
 ternyata bukan anak-anak yang sedang bermain doank, tapi mereka sedang 
menunggu kereta yang berangkat ke arah Kroya, mereka mau mengamen dan 
kemudian sore hari balik lagi. Yah, sedinamis itu kehidupan mereka.
Setelah puas mengamat-amatidan menjeprat-jepreti sambil ngerumpi, kita 
bergerak menyusuri rel menuju ke Pelabuhan Tanjung Intan. Lumayan jauh, 
di peta terukur lebih kurang 3 km. Sempat terjadi diskusi, ini mau jalan
 kaki apa naik motor? kalau jalan kaki, lumayan, panas, karena jam sudah
 menunjukkan jam 11an. Kalau naik motor, terpaksa tidak bisa full 
menyusuri rell karena ada beberapa titik jalur yang tidak berdampingan 
dengan jalan setapak sekalipun, akhirnya suara terbanyak memutuskan 
jalan kaki.
Akhirnya jalan kaki kita semua, tidak satupun. Rel dari stasiun ke 
Pelabuhan kalau di peta terlihat melengkung jalurnya, dan memang begitu 
terlihat di kenyataannya. Diantara bantalan rel sudah ditumbuhi 
rerumputan yang beberapa lumayan tinggi, tanpa informasi dari petugas 
stasiun, yang terpikir olehku adalah ini rel mati, sudah tidak dipakai. 
Tetapi tidak ternyata, rel ini masih aktif dipakai, setiap hari kecuali 
hari minggu (dan saat ekspedisi adalah hari minggu) sebuah kereta 
pengangkut BBM mengambil BBM di dalam pangkalan Pertamina yang ada di 
ujung rel, di kompleks pelabuhan Tanjung Intan yang kemudian di bawa ke 
pangkalan BBM Rewulu, beberapa stasiun sebelum stasiun Tugu, Yogyakarta.
Ekspedisi melewati beberapa bangunan tua, lalu melewati pemukiman warga 
miskin yang kumuh dibeberapa titik, lalu membentang sawah di kiri kanan,
 sampai akhirnya tiba di rel yang membelah sebuah area pabrik tepung. 
Disini kita harus stop terlebih dahulu. kenapa stop? pertama, karena 
diultimatum satpam dan kedua, karena kita kelelahan, nyaris dehidrasi 
akibat menyengatnya panas sang surya di tengah harinya kota Cilacap. 
Setelah mas Miko dan mas Riyad mengklarifikasi ijin melintas yang sudah 
dikirimkannya kemarin, akhirnya kita diijinkan melintas dengan catatan 
dilarang jeprat-jepret sampai keluar area pabrik. Kamipun melintas, ada 
percabangan rel di dalam pabrik tepung itu, satu percabangan rel yang 
kekanan masih dipakai untuk kereta pengangkut avtur tadi, sedangkan 
percabangan kekiri sudah mati, dulunya rel ini digunakan untuk 
pengangkutan barang dari pabrik pupuk. 
Karena aku, Hilmy dan Mas Mahbub terlalu cepat berjalan, akhirnya kita 
terpisah dari rombongan. Aneh yah, rel kan cuma satu jalur, lurus pula, 
tapi bisa juga kita terpisah. Kita tidak bisa melihat lagi sudah sampai 
mana rombongan yang lain, kita mengira mereka masuk ke pelabuhan lewat 
sebuah pintu tertentu, oleh karena itu kita mencari-cari jalan tembus 
untuk ke pelabuhan...ciat... ketemulah, dan kita masuk ke dermaga, 
tampak sebuah kapal barang bertuliskan ISA DELTA, juga ada BASUNDARA 2 sedang bersandar di 
Tanjung Intan. Mas Mahbub sempat berdialog dengan pria-pria 
berpenampilan preman di pelabuhan, kitapun sempat sedikit menjelajah ria
 sampai setelah lemes kepanasan kita kembali ke rel, menunggu rombongan 
yang lain.
Wehe, ternyata rombongan sudah tidak komplit, mas Irwan Asiatic, Sukma 
dan Aris kawan baikku semasa SMA sudah nyerah, naik mobil, kembali ke 
starting point di stasiun Cilacap. sedangkan rombongan yang masih 
tersisa, terus melanjutkan perjalanan yang tinggal beberap meter, 
perjalanan kita diakhiri di sebuah bangunan tua disamping pangkalan BBM 
pertamina yang menjadi ujung rel Pelabuhan-Stasiun itu.
Setelah ngumpul, melakukan diskusi penutup, tawaran menarik menguak dari
 salah satu peserta ekspedisi yang merupakan peserta ekspedisi termuda, 
masih kelas  1 SMP. Dia menawari seluruh peserta untuk makan siang 
dirumahnya, di Gunung Simping, perumahan mewah Pertamina punya. Seperti 
gayung bersambut, semua sumringah karena hadirnya tawaran itu.
Eits, tapi makan siang belum bisa terwujud saat itu juga, masih ada 
empat destinasi yang belum dijamah yang menjadi bagian dari ekspedisi 
Jelajah Tjilajcap I hari ini. Yakni sebuah benteng di Teluk Penyu, yakni
 Benteng Pendem dan tiga benteng di Nusa Kambangan. Namun, karena 
pertimbangan waktu, hanya satu benteng yang dijamah, yakni Benteng 
Pendem. 
Benteng pendem berolakasi agak jauh dari pelabuhan Tanjung Intan dan 
Stasiun. Kalau pelabuhan bisa didatangi dari depan alun-alun Cilacap 
terus saja lurus ambil jalan ke arah barat sampai jalan mentok, 
sedangkan stasiun bisa dituju dibelakang Pasar  Sumpiuh. Benteng pendem 
bisa dituju dengan masuk lokawisata Pantai Teluk Penyu. Dimana 
letaknya?Cari saja di papan penunjuk jalan, atau kalau susah, tanya 
orang saja.
Dengan tiket masuk 5.000 dan parkir 2.000 rupiah kita bisa masuk ke 
Benteng Pendem, harga itu belum termasuk tip untuk guide. Di dalam 
benteng, masih tersisa bangunan benteng peninggalan Belanda dengan papan
 penunjuk fungsi-fungsi tiap bangunan, ada tertulis gudang senjata, 
bangunan asrama dan lain-lain. Wahana mainan anak bertebaran disini, 
sampai tidak mbentuk lagi bagaimana kondisi awal benteng ini sebetulnya.
 Menurut guide yang sedang bercerita ke rombongan sebelah, katanya masih
 ada beberapa bangunan benteng yang tertutup tanah. Entah kenapa tetap 
dibiarkan ditutupi tanah sehingga pengunjung tahunya itu bukit biasa 
saja.
Yang kurang nyaman kalau ke obyek wisata berretribusi murah adalah 
persoalan sampah, begitu juga disini. Tapi ya, mau tidak mau sudah 
maklumlah dengan kondisi seperti ini. Karena memang kita kan bukan 
bangsa perfectcionis, kita adalah bangsa yang penuh kasih sayang, 
termasuk berkasih sayang ke pelaku membuang sampah sembarangan. 
Yang kurang nyaman berikutnya bagiku adalah, apa sih edukasi yang 
didapat oleh anak-anak kalau berkunjung kesini. Aku tidak menemukannya? 
Apa iya, kita mengajak datang adik dan anak-anak kita ke sebuah benteng 
untuk mengagumi penjajah? Haha, kalau ada Caknun mungkin akan jawab iya.
 Iya, karena kalau penjajah saja begitu hebat, apalagi kita yang sudah 
mengalahkan mereka. Lepas dari benar tidaknya jawaban itu, aku 
merindukan adanya obyek wisata yang kalau anak-anak datang kesitu muncul
 heroisme, terbangun kepercayaan diri sebagai bangsa, terjalin kedekatan
 dengan profil, sifat dan semangat pahlawan pendahulu bangsa, ya gitu 
deh.
Hingga akhirnya kunjungan selesai, karena makan siang sudah tidak bisa 
mentolerir keterlambatan kedatangan kita, akhirnya kita tidak sempatkan 
mampir ke pantai yang ada di seberang jalan Benteng. Dengan konvoi 
sepeda motor dan sebagian ada yang naik mobil, kita meluncur ke 
Perumahan Gunung Simping, dari Teluk Penyu ambil ke arah luar kota (ke 
arah Purwokerto), nanti di pertigaan yang ke arah Kawasan Industri 
Pertamina Donan belok kiri, kalo setelah belok kamu menginjak rel, lalu 
di kanan jalan ada Hotel Patra Graha, berarti kamu membelok di jalan 
yang benar. Sampai di kanan jalan ada RSI Fatimah, nah diseberang RSI 
itulah pintu masuk ke perumahan. 
Kelapa muda bersambung dengan Lele goreng dan sayur lodah... heum, 
nyammmy..... apalagi boleh nambah sepuasnya. Karena dari 30 porsi yang 
tersedia paling hanya 15 orang yang ditakdirkan Tuhan untuk mampir. 
Makan siang selesai sekitar pukul setengah 5 sore (makan siang???) dan 
Ekspedisipun resmi selesai, aku kembali berboncengan dengan Hilmy, 
menuju Kalibagor, Banyumas dengan transit sekali di Mushola SPBU 
Kalisabuk untuk sholat Ashar.
Walaupun kepanasan di tengah hari tadi, tapi sepertinya pada tidak kapok
 kok. Ekspedisi ini baru part I, masih ada Jelajah Tjilajap II dan III. 
Menurut mas Miko sang konseptor penjelajahan, ekspedisi Jelajah 
Tjilatjap II akan menyusuri rel mati yang merupakan rel alternatif 
dengan jarak lebih pendek, dari Pelabuhan Tanjung Intan, ke arah 
beberapa ratus meter sebelah utara stasiun Cilacap. Kemudian selesai 
susur rel dilanjutkan susur 3 benteng, menyeberang ke Pulau 
Nusakambangan.
Sedangkan Jelajah Tjilatjap III kita akan bermain-main air, ekspedisi 
naik perahu di Kali Yasa, sebuah kali buatan Belanda yang sekarang 
terlihat begitu alami, dulunya kali ini dibangun demi tujuan komersial, 
sebagai lalu lintas komoditas perdagangan Belanda saat itu.
Begitulah, dari Penjelajahan ini aku mendapatkan kesimpulan baru 
bahwasannya Pemerintah Hindia-Belanda lebih serius menyiapkan sebuah 
tata kota, sistem tata niaga yang lebih manusiawi tidak mengabaikan 
lingkungan hidup dan keberlangsungan komunitas pemukiman disekitarnya 
dan memiliki pandangan jangka-panjang. Bahkan pemerintah NKRI sekarang 
kalah, kalah jauh.. jauh abis.. . Heum, apakah kita harus mengucapkan 
terima kasih penjajahku, sembari menyuruh pemerintah kita study banding 
kepada mereka?









 
maen yahhh......
BalasHapus